Suasana di majelis pertemuan itu hening sejenak. Semua yang hadir diam membatu.
Mereka seperti sedang memikirkan sesuatu. Lebih-lebih lagi Sayyidina Abu
Bakar.
Itulah pertama kali dia mendengar orang yang sangat dikasihi
melafazkan
pengakuan sedemikian.
Seulas senyuman yang sedia terukir
di bibirnya pun terungkai. Wajahnya yang
tenang berubah warna.
"Apakah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini
saudara-saudaramu?" Sayyidina Abu Bakar bertanya melepaskan gumpalan
teka-teki
yang mula menyerabut pikiran.
"Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu
semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan
saudara-saudaraku (ikhwan),"
suara Rasulullah bernada rendah.
"Kami juga ikhwanmu, wahai Rasulullah,"
kata seorang sahabat yang lain pula.
Rasulullah menggeleng-gelangkan
kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum.
Kemudian Baginda
bersuara,
"Saudaraku ialah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka
beriman
denganku sebagai Rasul Allah dan mereka sangat mencintaiku. Malahan
kecintaan
mereka kepadaku melebihi cinta mereka kepada anak-anak dan orang
tua mereka."
Pada ketika yang lain pula, Rasulullah menceritakan tentang
keimanan ‘ikhwan’
Baginda:
"Siapakah yang paling ajaib imannya?"
tanya Rasulullah.
"Malaikat," jawab sahabat.
"Bagaimana para
malaikat tidak beriman kepada Allah sedangkan mereka sentiasa
dekat dengan
Allah," jelas Rasulullah.
Para sahabat terdiam seketika. Kemudian mereka
berkata lagi, "Para nabi."
"Bagaimana para nabi tidak beriman, sedangkan
wahyu diturunkan kepada mereka."
"Mungkin kami," celah seorang
sahabat.
"Bagaimana kamu tidak beriman sedangkan aku berada di
tengah-tengah kalian,"
pintas Rasulullah menyangkal hujjah sahabatnya
itu.
"Kalau begitu, hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang lebih
mengetahui," jawab
seorang sahabat lagi, mengakui kelemahan
mereka.
"Kalau kamu ingin tahu siapa mereka, mereka ialah umatku yang
hidup selepasku.
Mereka membaca Al Qur'an dan beriman dengan semua isinya.
Berbahagialah orang
yang dapat berjumpa dan beriman denganku. Dan tujuh kali
lebih berbahagia orang
yang beriman denganku tetapi tidak pernah berjumpa
denganku," jelas Rasulullah.
"Aku sungguh rindu hendak bertemu dengan
mereka," ucap Rasulullah lagi setelah
seketika membisu. Ada berbaur kesayuan
pada ucapannya itu.
Begitulah nilaian Tuhan. Bukan jarak dan masa yang
menjadi ukuran. Bukan
bertemu wajah itu syarat untuk membuahkan cinta yang
suci. Pengorbanan dan
kesungguhan untuk mendambakan diri menjadi kekasih
kepada kekasih-Nya itu,
diukur pada hati dan terbuktikan dengan kesungguhan
beramal dengan sunnahnya.
Dan insya Allah umat akhir zaman itu adalah
kita. Pada kita yang
bersungguh-sungguh mahu menjadi kekasih kepada kekasih
Allah itu, wajarlah bagi
kita untuk mengikis cinta-cinta yang lain. Cinta
yang dapat merenggangkan
hubungan hati kita dengan Baginda Rasulullah
saw.
Allahumma shalli ala Muhammad wa ala alihi wa shahbihi ajma'in
0 comments:
Post a Comment